“Aku juga mencintaimu. Bahkan, teramat sangat mencintaimu.”
Andaikan aku bisa dengan tegas mengatakannya padamu saat itu. Mungkin kini kita masih berbahagia bergelimang cinta. Ya, cinta. Bukan malah menuai perih seperti yang kau rasakan kala itu. Aku sungguh minta maaf, Kak. Butuh waktu yang begitu lama bahkan terlalu lama untukku menyadari. Mengerti dan menerima realita bahwa aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Tapi kala itu aku tak bisa mengatakannya, bahkan sampai kapanpun aku takkan bisa mengatakannya.
Addya menorehkan kalimat demi kalimat yang terasa mengalir begitu saja dari hatinya. Sesosok gadis manis berlesung pipi ini tak menyadari butiran bening mulai menetes kemudian mengalir lembut dan turut membasahi jilbab cokelat yang belum sempat dilepasnya. Addin. Sosok pemuda itulah yang kini memenuhi pikirannya. Addin, sang pemilik hatinya. Addin, sang First LOVE dalam dunia barunya.. dan bergulirlah cerita itu...
***
“Addya! Dapet salam tuh dari Addin!”
Satu kalimat itulah yang ternyata menghantarkan Addya ke dunia baru yang belum ia mengerti betul sebelumnya. Dunia dimana cinta akan mulai muncul. Cinta Monyet? Entahlah. Tapi bisa jadi itu Cinta Remaja.
Addin. Kala itu Addya tak merasa mengenal sosok itu sebelumnya. “Addin? Siapa dia?”
Sang waktu bertindak. Tirai demi tirai jelas terbuka. Addin, sosok itu mulai sering muncul. Addya mulai tau siapa dia. “Ah, anak RT sebelah. Anak pemilik toko yang bertingkah aneh kala itu.”
Teringat kala itu. Addya mengayuh sepedanya dengan cepat menuju ke toko di RT sebelah, tak begitu jauh dari rumahnya. Gadis tomboy? Ya, begitulah.
“Beli..!” Satu kata yang langsung diteriakkannya dengan lantang sesampainya di toko itu. Matanya mulai sibuk mencari-cari si empunya toko. Terlihat didalam ada sesosok pemuda yang asyik di depan layar televisi, entah asyik bermain PS atau menonton acara favoritnya.
“Ya, sebentar..” sahut pemuda tadi yang kemudian beranjak ke toko dengan malas.
“Saya mau beli….” Addya tersenyum girang dan langsung ingin memberitau apa yang ia butuhkan saat sosok pemuda itu sudah tepat berada didepannya. Namun kemudian terhenti, saat pemuda tadi bukannya segera melayaninya tetapi malah berlari masuk setelah tersentak saat melihatnya sembari berteriak memanggil seseorang untuk menggantikan melayaninya. “Mas! Tuh ada yang beli!” teriaknya.
Kala itu Addya hanya memandang heran. orang yang aneh, malah kabur seperti habis melihat hantu saja, pikirnya. Sekarang, ketika ia mengingat kejadian itu, sosok pemuda dengan rambut berantakan yang langsung lari begitu melihatnya, dialah Addin. Malu dengan penampilannya yang berantakan hingga langsung berlari meninggalkannya. Hei, kondisi yang berantakan itu tidak lantas menutupi wajahnya yang memang manis. Juga matanya itu. Senyum getir Addya terkembang setiap kali mengingat kejadian itu. Begitu lucu, begitu lugu, kala itu.
Begitulah dunia barunya. Sang waktu telah diperintahkan untuk mendewasakannya dengan pengalaman baru yang mengalir begitu tegasnya.
Addya masuk ke sebuah sekolah swasta dan tinggal di asrama. Cukup jauh dari rumah. Itu artinya, tak ada lagi Addin. Benarkah? Tidak. Bahkan kisah ini belum mulai.
Kala itu bulan Agustus, mendekati tanggal HUT RI. Saat weekend akan diselenggarakan malam tirakatan se-RW, dan Addya pulang saat itu.
Acara begitu ramai. Addya begitu asyik bercengkrama dengan beberapa temannya. Acara demi acara disuguhkan dengan apik dan rapi. Namun tetap tak berhasil mengusiknya, hingga kemudian MC memanggilkan ‘Addin Band’ untuk naik keatas panggung. Kostum ala sosok Harry Potter yang kala itu dipakainya, jas kebesaran dan kacamata. Lucu, namun tetap begitu manis. Riuh suara teman-temannya yang mengiringi lantunan musik dari Band itu. ‘Mimpi yang Sempurna’ dari Peterpan. Addya pun ikut menikmati dan memperhatikannya dari jauh.
Tidak hanya itu, ada satu lagi ‘Fashion Show’ persembahan dari Karang Taruna se-RW. Ya, Addin tentunya juga ikut di acara itu. ‘Kostum untuk Musim Dingin’ yang kala itu harus diperagakannya. Balutan mantel berbulu yang menghiasi dan begitu manis, itu yang ia pakai. Riuh saat itu juga, memuji kegantengannya. Addya hanya tersenyum menanggapi itu.
Sang waktu terus berjalan. Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan tahun berikutnya. Dan waktulah yang telah membabat habis atau malah menyuburkan ‘rasa’ itu. Rasa keduanya.
Bulan Suci Ramadhan tiba. Ada hari libur, dimana Addya bisa menghabiskan waktu untuk bercengkrama dan berpuasa bersama keluarga di rumah. Dan hari itu, akan ada acara khataman di Masjid perumahannya. Pemuda-pemudi bertugas untuk membantu urusan konsumsi. Acara sehari itu dipakai untuk menyimak dan membaca Al-Qur’an. Kebetulan saat itu takmir mengundang seorang muslimah yang hafidz, hafal Al-Qur’an, dan saat itu sedang hamil tua namun tetap ingin berpuasa saja. Subhanallah.
Setibanya waktu berbuka, semua sudah dipersiapkan. Berbuka dengan snack yang sudah tersedia, kemudian sholat maghrib berjamaah, kemudian setelahnya bisa dilanjutkan makan besar bersama. Addya berdiri kembali, menambah dua rakaat untuk sunnahnya. Sesosok pemuda yang sedang ikut membantu mengkondisikan untuk acara selanjutnya itu memperhatikannya dan tersenyum. Senyum yang sama dan dengan tatapan mata yang sama. Ya, pemuda itu tidak lain adalah Addin. Waktu telah berlalu begitu cepat.
Masjid itu penuh. Mulai dari orang tua sampai anak-anak tentunya. Addya mulai disibukkan dengan piring dan hidangan didepannya. Ia turut membantu para ibu yang sibuk menyajikan hidangan untuk makan bersama tersebut. Addya masih asyik dengan para ibu saat terdengar suara itu. Bukan, bukan karena Addya mengenali suara itu, hanya saja untuk di lingkup masjid begini itu tergolong cukup gaduh. Sentakan kecil dari hatinya pun tak terelakkan saat itu. Sosok itu, ya sosok pemuda itu. Menatapnya. Masih dengan tatapan mata yang sama. Sejenak disusul dengan senyum yang masih sama sebelum kemudian ditarik oleh temannya ke arah lain.
“Ya Allah, maaf. Astaghfirullah..” gumam Addya kala itu, ketika menyadari ia tadi tak lekas menundukkan pandangannya.
“see sweety, he loves you. STILL.” teriak hatinya yang sedari tadi asyik bermain pandang dengan bantuan sang mata.
Addya hanya mendesah pelan sebelum kemudian diajak untuk segera mengambil hidangan untuknya dan ikut makan bersama. Addya mengangguk pelan dan tersenyum sembari mengambil beberapa hidangan untuknya. Ia masih akan mengambil minuman ketika sosok itu muncul lagi. Masih dengan senyum yang sama. Sedangkan tatapannya? Addya tak berani memandangnya. Hanya hatinya yang saat itu berdebar ringan.
Addin dan seorang temannya kemudian duduk di serambi, tepatnya disisi sebelah kanan depan yang hanya berjarak kurang dari 3 meter dari tempat Addya duduk. Addya tetap berusaha tidak memperdulikannya kala itu. Tapi kemudian suara gaduh itu, senyum itu, juga tatapan itu kembali tertuju padanya. Kini bahkan lebih lekat. Lihat, betapa sang empunya hati masih begitu jelas. Speechless. Sontak Addya menghentikan makannya. Mendadak tak berselera. Bagaimana dia bisa makan dengan terus diperhatikan begitu.
***
“Astaghfirullah..”
Mengingat kejadian demi kejadian yang kita lewati. Mengingat panas hatimu kala itu saat kau mendengar sosok cinta lain yang juga menginginkanku. Mengingat sikap acuhku selama itu padamu, pretending like I don’t care about everything that U do. Mengingat tatapan kosongmu saat memainkan gitar didepan rumah temanmu dan tanpa kau sadari aku lewat didepanmu, memperhatikanmu dari balik kaca mobil. Mengingat kekosongan dan kepura-puraan saat itu. Mengingat betapa sakitnya, betapa perihnya hati demi melihatmu dan berlaku begitu dingin didepanmu, mengingkari rasa hati yang makin merekah.
“Aku juga mencintaimu, Kak. Tulus.”
Maaf Kak, berjuta kata maaf tentunya tak mampu mengobati. Bahkan untuk mengatakannya saja aku tak bisa. Mungkin takkan pernah bisa. Saat itu bukan gengsi yang aku pegang Kak. Tentu bukan. Bukan juga karena cinta lain yang juga mendatangiku. Bukan. Aku tak pernah terpaling darimu Kak, semua tak berarti dimataku. Ada alasan lain yang lebih tinggi dari itu. Tuhan. Ya, Tuhan. Aku takut padaNya, Kak. Takut akan menyalahi aturanNya. Menerjang batasanNya.
Aku memang mencintaimu, Kak. Sangat. Namun bukan berarti aku harus meninggalkanNya kan. Dengan apa yang aku pegang dalam hidup. Nyata bahwa tak ada kebolehan untuk berpacaran sebelum Dia menghalalkannya. Aku terpaksa menorehkan sakit itu, perih itu. Demi meihatmu seperti itu, aku juga sakit Kak. Begitu sakit dan perih. Ah, andai aku bisa menghapusnya kala itu. Tapi aku tak bisa, takkan bisa. Sungguh, ketulusanku untuk melihatmu berbahagia, meskipun dengan yang lain.
“Aku juga mencintaimu, Kak. Maaf kerna aku harus lebih memilihNya.”
Aku tau banyak yang datang menawarkan cinta untukmu. Aku tau kau begitu sibuk dengan kunjungan mereka kerumahmu. Aku tau beberapa dari mereka begitu agresif untuk memilikimu. Aku tau begitu banyak cerita tentangmu, tanpa aku harus mencari tau. Cerita itu datang sendiri diwaktu dan dari sumber yang berbeda-beda. Kau memang indah. Begitu indah hingga setelah setiamu, pertahananmu bertahun-tahun, hati ini akhirnya jatuh dalam keindahanmu. Menyadarkanku akan satu hal yang pasti, aku mencintaimu. Bukan cinta monyet atau apalah orang menyebutnya. Aku mencintaimu, cinta pertamaku. Aku tulus mencintaimu, My First LOVE. Kini, aku telah melepasmu.
Sekian tahun kau bertahan, baru hati ini luluh dan jatuh. Begitupula untuk beralih dan berpaling, hati ini akan butuh jauh lebih lama dari proses itu. Nyata hingga beberapa tahun dari saat aku memutuskan untuk menghentikannya dan berpaling darimu, aku masih belum sepenuhnya lepas dari bayangmu. Bahkan ingatanku malah memutar kembali kejadian itu yang justru tak kusadari sebelumnya. Saat dimana kita bertemu pertamakali. Saat masih begitu muda. Dimana aku sudah menghujanimu dengan kata-kata yang begitu kacau, dan ternyata salah orang. Astaghfirullah, malu sekali begitu aku menyadarinya. Sedangkan kata maaf saat itu tak terucap karena aku bahkan tak sadar kala itu. Lihat Kak, bahkan saat awal bertemu pun aku begitu kacau. Bagaimana bisa kau jatuh untukku? Apa alasannya? Ah, andaikan aku bisa menanyakannya padamu. Tapi takkan mungkin. Astaghfirullah, untuk kesekian kali aku seakan ingin memutar ulang hari itu, di waktu itu, dimana semua bisa lebih lembut. Kala itu, keputusan untuk tetap bersikap dingin padamu meski aku juga merasakan perihmu itu datang karenaNya. Kala itu, disaat aku harus mengakhiri, berpaling darimu, itu pun untuk bersama dengan cinta lain pilihanNya, sosok lain yang juga akan lebih mementingkanNya dan mengimamiku untuk lebih dekat padaNya. My First LOVE, kini aku telah melepasmu. Tetap berbahagialah.
Addya menutup catatan hariannya dengan senyum. Senyum yang penuh arti. Entah apa makna yang tersembunyi dari senyum itu. Perlahan ia mengusap pipinya yang basah sedari tadi, kemudian melepas dan menanggalkan jilbabnya. Malam kian larut. Angin pun berhembus tenang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar